Rabu, 17 Agustus 2011

TAFSIR


BAB I
PENDAHULUAN

Cara berkomonikasi dalam bentuk soal jawab dalam Alqur’an diungkapkan melalui gaya bahasa tersendiri yang berbeda dari gaya bahasa manusia. Oleh karenanya seorang mufasir harus menguasainyai secara baik dan agar dapat memahami sinyal-sinyal makna yang dikandung oleh Alqur’an dengan baik pula. Tak mustahil pemahaman terhadap uslub (gaya bahasa) tanya jawab tersebut menjadi keliru bila seorang tidak mengusai pola yang diterapkan dalam Alqur’an.[1] Pada kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat menjelaskan beberapa kaidah-kaidah tanya jawab, dan semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pembacanya.


















BAB II
PEMBAHASAN

Secara definitif Khalid ‘Abd al-Rahman Al-Akk telah mencari pengertian al-su’al (pertayaan) sebagai perkataan yang menjadi permulaan. Sedangkan al-jawab (jawaban) merupakan perkataan yang dikembalikan kepada si penaya.
Pada dasarnya antara jawaban dan pertanyaan dalam Alqur’an harus sejalan. Artinya penjelasan yang diberikan tak boleh keluar apa yang ditanyakan. Namun Alqur’an dalam menjawab suatu suatu pertanyaan mempunyai pola tersendiri dan tidak mengikuti pola tersebut, diantaranya yaitu:

A.  Menggunakan sighat lafazh sa’ala.
Contoh misalnya, pertayaan tentang bulan sabit dalam ayat 189 dari al-Baqarah;
štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur .....
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;

Pertanyaan dalam ayat itu jelas sekali berkenaan dengan kondisi bulan: mula-mula terlihat kecil dan tipis sekali, dari malam ke malam ia bertambah besar sampai sempurna; setelah itu ia kembali mengecil akhirnya hilang. Kemudian muncul lagi ia: tipis kecil, terus beransur-angsur membesar, lalu sempurna purnama setelah itu berangsur kecil lagi, akhirnya hilang dari penglihatan begitulah sampai sepanjang tahun perjalanan bulan. Kondisi yang demikian terasa aneh bagi para sahabat; lantas mereka menjawabnya kepada Rasul. Tapi di luar dugaan mereka menjwab, jawaban yang diberikan bukan berkanaan dengan kondisi bulan sebagaimana digambarkan itu melainkan penjelasan tentang fungsi bulan tersebut, yakni sebagai sarana untuk menhgetahui waktu dan musim haji,

.( }Ïd@è% àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur)
B.   Jawaban tidak sejalan dengan pertanyaan.
Contoh, misalnya tentang pertanyaan apa yang akan diinfakkan seperti dalam ayat 215 juga dari al-Baqarah:
štRqè=t«ó¡o #sŒ$tB tbqà)ÏÿZム( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9Žöyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ......
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan."
Tampak dengan jelas jawaban tersebut tidak sejalan dengan pernyataan karena yang ditanyakan ialah tentang “apa yang akan diinfakkkan”. Tapi jawabannya menjelaskan tentang “siapa yang layak menerima infak tersebut”.
Apabila diamati secara seksama kedua jawaban dari kedua pertanyaan tersebut niscahaya akan teras basi si penaya bahwa memang seharusnya mereka menayakan berkenaan dengan penjelasan yang diberikan dalam jawaban itu. Dalam contoh pertama, misalnya, memeng kegunaan bulan itu yang harus mereka tanyakan dan itulah yang mereka butuhkan, bukan mempermasalahkan kondisi bulan; mula-mula kecil, terus membesar, kemudia mula mengecil lagi dan akhirnya menghilang dari peredaran. Kajian tentang kondisi yang demikian belum mereka butuhkan, karenanya jawaban yang diberikan dialihkan kepada menjelaskan fungsi bulan bukan kondisinya.
Dalam contoh yang kedua, jawaban juga tak sejalan dengan  pertanyaan, bahkan jawaban melebi isi pertanyaan karena yang ditanyakan hanya tentang apa tapi jawabannya ditambah lebih lengkap di samping menjelaskan benda yang diinfakkan, dan sekaligus juga dijelaskan siapa yang layak menerima infak tersebut yajni ibu pabak, karib kerabat, orang miskin, dan ibnu sabil.
ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9Žöyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$#
Para ahli balaghah,seperti al-Sakkâkî sebagai dikutip al Zarkasyi menyebutksn pola jawaban serupa ini dengan al-uslub al-hakim (gaya bahasa yang amat bijaksana).[2] Dengan demikian, berarti jawaban yang diberikan lebih cocok dengan kebutuhan mereka daripada isi pertanyaan yang mereka ajukan.
Kenyataan tersebut membuktikan kepada kita bahwa Alqur’an sebagai petunjuk umat manusia tidak hanya isinya, bahkan pola susunan kalimatnya pun menjadi pedoman dalam berbahasa yang baik dan benar.[3]
C.  Jawaban kurang dari isi pertanyaan.
Contoh misalnya, yang diberikan Alqur’an kurang dari isi pertanyaan seperti seperti dalam ayat 15 dari Yunus:
#sŒÎ)ur 4n?÷Gè? óOÎgøŠn=tæ $uZè?$tƒ#uä ;M»oYÉit/   tA$s% šúïÏ%©!$# Ÿw tbqã_ötƒ $tRuä!$s)Ï9 ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ ÎŽöxî !#x»yd ÷rr& ã&ø!Ïdt/ 4 ö@è% $tB Ücqä3tƒ þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[4] atau gantilah dia[5]". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".

Dalam ayat ini orang-orang kafir meminta agar Muhammad saw mendatangkan Alqur’an lain yang tidak mencaci Tuhan mereka, atau kalau yang tidak dapat yang demikian (paling tidak) menukar ayat azab dengan rahmat dan sebagainya. Kedua permintaan itu langsung dijawab Rasul Allah dengan mengatakan, “Saya tak berwenang (sedikit pun) untuk mengubah (menukanr) ayat-ayat Alqur’an berdasarkan kemauan sendiri”
4 ö@è% $tB Ücqä3tƒ þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Tampak dengan jelas jawaban yang diberikan tak seimbang dengan permintaan. Hal itu menurut al-Zamakhsyari adalah karena “mengganti ayat azab dengan nikmat dan menghilangkan cacian terhadap berhala-berhala yang mereka anggapa Tuhan dan sebagainya, masih dalam kemampuan manusia, tapi mendatangkan Alqur’an selain yang diturunkan Allah adalah sesuatu yang mustahil”.[6]
Apa yang ditegaskan al-Zamakhsyari itu ad benarnya, kaarena memang tak mungkin Nabi Muhammad membuat Alqur’an sendiri. Jaadi dalam jawaban tersebut tersirat sekaligus bahwa Alqur’an mungkin dimanipulasi oleh siapa pun, termasuk Nabi sendiri. Dengan demikian nyatalah bahwa Alqur’an asli dari Tuhan, tak dicampuri oleh kaum yang lain; jangankan mendatangkan Alqur’an, bahkan menubah, atau mengganti kata-kata dan mempertukarkan tempatnya pun tak pernah terjadi. Jadi bila pergantian suatu kata tak terjadi, tentu lebih tak terjadi lagi pembuatan Alqur’an oleh Nabi Muhammad saw. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa penegasan Nabi: Saya tidak berwenang menggantinya” menjawab pertanyaan tersebut. Artinya satu jawaban sudah cukup untuk menjawab kedua pertanyaan tadi.[7]





BAB III
PENUTUP

Dari ilustrasi diatas , maka bisa kita pahami bahwa setiap pertanyaan yang diajukan pasti akan dijawab sesuai dengan pertanyaannya. Atau dengan kata lain, bahwa setiap pertanyaan, membutuhkan jawaban yang sesuai dengan pertanyaannya. Tapi dalam Alqur’an ditemukan kaidah lain yang menyatakan bahwa bentuk jawaban yang diberikan tersebut menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh pertanyaan. Dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada si penaya bahwa jawaban itulah yang seharusnya dipertanyakan.

Setidaknya pemakalah dapat menyimpulkan beberapa diantaranya yaitu:
-         Menggunakan sighat lafazh sa’ala.
-         Jawaban tidak sejalan dengan pertanyaan.
-         Jawaban kurang dari isi pertanyaan.
















DAFTAR PUSTAKA

Baidan,Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar 2005.
Ichwan, Nor, Memahami Bahasa Al-Qur’an,Pustaka Pelajar 2002.
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi’ulum al-Qur’an, Mesir, Bairut, t.t, III.
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Dar al al-Ma’rifah, Beirut,t.t, II.




[1] Prof. Dr. Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar 2005, h. 326
[2] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi’ulum al-Qur’an, Mesir, Bairut, t.t,III, h. 42.
[3] Prof. Dr. Nasruddin Baidan,Op.cit, h. 327
[4] Maksudnya: datangkanlah Kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya.

[5] Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.

[6] Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Dar al al-Ma’rifah, Beirut,t.t, II, h. 228.
[7] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an,Pustaka Pelajar 2002. h. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar