Rabu, 17 Agustus 2011

ULUMUL HADIS II

Rijalul Hadist

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadits, Rijal al-Hadits merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan rijal hadits. Ilmu Rijal al-Hadits memiliki dua anak cabang, yaitu Ilmu Tarikh ar-Ruwah atau Ilmu Tarikh ar-Rijal yang didefinisikan sebagai Ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi aktifitas mereka dalam meriwayatkan hadits. Dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, yaitu Ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi diterima atau tidaknya periwayatan mereka.[1]
Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadits pada dasarnya memiliki dua pokok pembahasan yaitu, biografi atau sejarah para rawi dan mengkaji rawi dari segi justifikasi/penilaian kualitas rawi. Makalah ini sedikit mengupas tengang kitab  Tahdzib at-Tahdzib karya Al ‘Asqalani  dalam bidang Ilmu Rijal al-Hadits
<span class="fullpost">
yang cukup dikenal dalam khazanah kajian rijal hadits.[2]













BAB II
PEMBAHASAN
Kitab Tahdzib at-Tahdzib[3]

A.     Biografi
Namanya adalah Syihab ad-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-’Asqalani [selanjutnya disebut Ibn Hajar], lahir di Mesir 12 Sya’ban 773 H dan wafat tahun 852 H. Sejak kecil Ibn Hajar telah piatu dan diasuh oleh ayahnya yang juga merupakan ahli fiqih, bahasa dan qira’ah. Selain itu Ibn Hajar juga telah mampu menghafal al-Qur’an dengan sempurna sejak umur 9 tahun.
Ibn Hajar tergolong ulama yang cukup produktif menghasilkan karya-karya dalam khzanah keislaman. Diantaranya adalah Fath al-Bari sebuah karya yang mencoba memberikan syarh terhadap kitab kumpulan hadits karya Imam Bukhori. Selain itu Ibn Hajar juga cukup concern dalam kajian Rijal al-Hadits. Diantara kitab-kitabnya adalah al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Tahdzib at-Tahdzib, Taqrib at-Tahdzib dan Lisan al-Mizan dll.

B.     Tentang Kitab Tahdzib Al-Tahdzib
Tahdzib al-Tahdzib merupakan karya Ibn Hajar yang berupaya meringkas dan menyempurnakan kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi yang oleh Ibn Hajar dianggap terlalu panjang.
Kemudian Ibn Hajar juga mengkritik kitab Tahdzib at-Tahdzib karya az-Dzahabi dan juga Kitab al-Kasyif yang memberikan pembahasan yang cukup panjang namun tidak memperhatikan ke-tsiqahan dan kritik jarh didalamnya, padahal kedua hal tersebut paling tidak menjadi tolok ukur utama. Selain itu juga terdapat beberapa nama yang keberadaan gurunya tidak diketahui dan tidak ada ada penjelasan lebih lanjut.
C.     Metode dan Sistematika
Berikutnya, Al Hafidz Ibnu Hajar melakukan resume kitab “Tahdzib Al-Kamal’ karangan Al-Mizzy dalam sebuah kitab yang berjudul “Tahdzib At-Tahdzib’. Garis besar sistematika ringkasannya sebagai berikut :
1.      Ia batasi menulis sesuatu yang berkaitan dengan al-jarh wat-ta’dil.
2.      Ia tidak tulis terlalu panjang hadis – hadis yang ditakhrij oleh Al Dzahaby dari riwayat – riwayatnya yang tinggi.
3.      Ia tidak masukkan guru – guru dan murid yang biografinya di tulis yang sudah disederhanakan oleh al-Mizzy, dan Ia batasi pada yang paling terkenal, paling kuat hafalan, dan yang dikenal sebagian mereka jika rawi itu sering disebut.
4.      Biasanya, ia tidak buang sedikitpun biografi yang singkat.
5.      Guru dan murid rawi yang biografinya ditulis tidak disusun dari segi usia, hafalan, isnad, kerabat dan lain sebagainya.
6.      Ia buang komentar terlalu banyak di sela sebagaian biografi, karena hal itu membuktikan tidak tautsiq dan tajrih.
7.      Pada biografi itu ditambahkan pandapatnya pendapat para tokoh yang menguatkan tajrih dan tautsiq dari luar kitab itu.
8.      Pada sebagian tempat didatangkannya sebagian perkataan asal dengan arti tanpa merusak maksudnya. Terkadang ditambahkannya sebagian lafadz yang mudah demi kemaslahatan.
9.      Ia tidak cantumkan banyak penyelisihan tentang wafatnya tokoh – tokoh kecuali pada tempat yang mengandung kemaslahatan tidak dibuang.
10.  Tidak dibuanya seorang pun biografi tokoh – tokoh hadis yang terdapat “Tazhdzib al-Kamaal”.
11.  Ia tambahkan sebagian biografi yang diberikannya tambahan pada aslinya dengan jalan menulis nama rawi itu, nama ayahnya dengan tulisan tinta berwarna merah.
12.  Di sela sebagian biografi ia tambahkan perkataan yang tidak ada pada aslinya tetapi dimunculkannya dengan mengatakan قلت   aku berkata : hendaknya pembaca sadar bahwa seluruh kata setelah ‘Qultu’ merupakan tambahan Ibnu Hajar hingga akhir biografi.
13.  Ia konsisten pada rumus – rumus yang disebutkan oleh al-Mizzy. Tetapi tiga hal dari rumus – rumus itu dibuangnya.
Yaitu (مق – سي - ص) Ia juga konsisten menghadiri biografi – biografi pada kitab itu berdasarkan urutan aslinya seperti pada “Tahdzib’ al-Mizzy.
14.  Ia tidak cantumkan tiga pasal yang disebut al-Mizzy pada awal kitabnya. Hal itu yang berkaitan dengan syarat – syarat para tokoh hadis yang enam, menganjurkan meriwayatkan dari para rawi tsiqot dan biografi Nabi atau siroh Nabi.
15.  Ia lengkapi sebagaian tambahan yang dikutipnya dari kitab “Tahdzib At-Tahdzib’ oleh Adz-Dzahaby, dan kitab ‘Ikmal Tahdzib al-Kamaal’ oelh ‘Alauddin al-Mughlathay.[4]

Kitab tahdzib at-Tahdzib ini dimulai dengan abjad hamzah dengan perawi bernama Ahmad dan dengan huruf mim yang namanya Muhammad. Jika perawi memiliki nama kunyah atau nama aslinya telah dikenal atau tidak diperdebatkan maka akan dicantumkan dalam kelompok nama asli dan ditulis lagi dalam kelompok kunyah. Sedangkan jika nama aslinya tidak diketahui atau masih diperdebatkan maka dimasukkan dalam kelompok nama kunyah dan ditulis ulang dalam kelompok nama asli.[5]
Pada bagian  muqaddimahnya dalam satu fasal Ibn Hajar menambahkan beberapa tanda untuk memudahkan yaitu:  ع untuk al-Kutub al-Tis’ah, ٤ untuk al-Kutub al-Arba’ah, خ untuk Shahih Bukhari, م untuk Shahih Muslim, د untuk Sunan Abu Dawud, ت untuk Sunan al-Turmudzi, س untuk Sunan al-Nasa’i, ق untuk Sunan Ibn Majah, خت untuk Shahih Bukhari dalam beberapa ta’liq, ي untuk Shahih Bukhari hanya pada al-Adab, عخ untuk Shahih Bukhari pada Khalq al-Ibad, ز untuk Shahih Bukhari pada qira’ah khalf al-Imam, مق untuk Shahih Muslim pada bagian muqaddimah, مد untuk Sunan Abu Dawud pada bagian marasil, خد untuk Sunan Abu Dawud pada bagian qadar, ف untuk Sunan Abu Dawud pada bagian kitab tafarrud, صد untuk Sunan Abu Dawud pada bagian fadla’il al-Anshar, ل untuk Sunan Abu Dawud pada bagian masa’il, كد untuk Sunan Abu Dawud pada bagian Musnad Malik, نم untuk Sunan Turmudzi pada bagian Syama’il, سي untuk Sunan Nasa’i pada bagian Musnad Malik, ص untuk Sunan Nasa’i pada bagian Khasha’ish Ali, عس untuk Sunan Nasa’i pada bagian Musnad Ali, فق untuk Sunan Ibn Majah pada bagian Tafsir.[6]
Pemakalah disini, menggunakan kitab Tahdzib at-Tahdzib, terbitan Da’irah al-Ma’arif an-Nidzomiyah India cetakan 1325 H. sebanyak 12 jilid dan jilid terakhir merupakan kitab fihris. Mengenai Sistematika isi kitab sebagai berikut :
1.    Bab Alif s/d Ya’
2.    Kitab Kunyah
3.    Fasal yang berisikan rawi-rawi yang masyhur dengan penisbatan kepada bapak, kakek, ibu, paman dst..
4.    Fasal Laqab
5.    Fasal Mubhamat
6.    Kitab an-Nisa’
7.    Bab Kunyah Kitab an-Nisa’


D.    Kelebihan dan Kekurangan
a)    Kelebihan
1.    Kitab disusun menggunakan urutan Abjad sehingga sedikit memudahkan pencarian rawi.
2.    Ada bab yang khusus mengelompokkan rawi berdasarkan kunyah-nya baik rawi laki-laki maupun perempuan.
3.    Ada bagian atau bab yang secara khusus mengelompokkan rawi wanita.
4.    Jilid terakhir merupakan fihris yang memudahkan pencarian.
b)   Kekurangan
1.    Banyak terjadi inkonsistensi kritik atau seleksi dalam penulisan karena sebagaimana diakui, karya ini merupakan ringkasan kitab sebelumnya sehingga data-data yang telah ada sebelumnya masih menjadi rujukan utama, meskipun juga tidak dinafikan adanya penambahan penilaian pada beberapa rawi.
2.    Sering menisbatkan kritikan langsung berdasarkan penilaian ulama yang masa hidupnya jauh lebih lampau dari Ibn Hajar tanpa menyebutkan persambungan rentetan kritikus-kritikus sebelumnya. Bahkan terkadang tanpa penjelasan alasan mengapa seorang rawi dinilai jarh.
3.    Terkadang masih mencantumkan pembahasan yang panjang lebar mengenai seorang rawi namun tidak ada data yang jelas sebagaimana diharapkan dalam muqaddimah-nya.
4.    Dalam mengkaji atau menggunakan Tahdzib at-Tahdzib dirasa masih ditemui kesulitan, masih diperlukan kitab-kitab seperti Tarikh ar-Ruwah atau kitab Thabaqah yang urutannya berdasarkan kurun waktu, bukan abjad.[7]



BAB III
PENUTUP

Sebagaimana yang pemakalah uraikan diatas, dapat kita pahami bahwa kitab Tahdzib at- Tahdzib merupakan ringkasan kitab sebelumnya seperti Kitab Tahdzib al-Kamal, al-Kasyif. Sehingga kitab tersebut masih banyak kekurangan.
Demikian tentang kitab  Tahdzib at- Tahdzib yang pemakalah sampaikan, mungkin masih banyak kesalahan dan dan kekkurangan yang perlu di kritik atau  saran yang sifatnya membangun. Sekian wassalam.






















DAFTAR PUSTAKA

al-Asqalani, Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib (India: Da’irah al-Ma’arif an- Nidzomiyah, 1325 H).
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijal Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003).
Al Thohhan, Mahmud, Dasar – Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad (Semarang: Dina Utama, 1995).





[1] Suryadi, Metodologi Ilmu Rijal Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), hal.2

[2] Ibid.
[3] Di presantasikan oleh Imam Basyori, mata kuliah bahtsul kutub hadis pada hari kamis tgl 26 thn 2011.
[4] Prof. Dr. Mahmud Al Thohhan, Dasar – Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad (Semarang: Dina Utama, 1995), hal  
[5] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (India: Da’irah al-Ma’arif an-Nidzomiyah, 1325 H), hal, 2-5 .

[6] Ibn Hajar al-Asqalani, Op.cit, hal. 5-6.
[7]  Ibid. 

Sanad Dan Matan
BAB I
PENDAHULUAN

Hadis adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw.[1] Menurut ulama hadis , matan dan sanad hadis sama – sama mempunyai kedudukan penting, karena kriteria kesahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh kualitas matannya saja, tetapi ditentukan oleh kualitas sanadnya.
 Untuk memahami sebuah hadis kita harus memahami sanad dan matan hadis, dalam makalah ini setidaknya pemakalah akan menerangkan atau mengupas tentang apa – apa yang berkenaan dengan sanad dan matan hadis, yang berkenaan dengan pengertian sanad dan matan, objeknya, kaidah mayor dan minor sanad dan matan hadis, metodenya dan yang terakhir urgensinya. Yang tentunya dalam makalah saya ini masih banyak kesalahan yang perlu di kritik, kritis dan saran. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan pembaca. Amiiin…













BAB II
PEMBAHASAN
PENELITIAN SANAD DAN MATAN

A.     Pengertiannya
1.      Sanad
Sanad menurut lughoh, ialah: “sesuatu yang kita bersandar kepadanya. Dalam  istilah ahli hadis, ialah:
طَرِيْقُ مَتْنِ اْلحَدِيْثِ.
“Jalan yang menyampaian kita kepada matan hadis”.
Menurut pendapat Ibn Jama’ah, sanad itu diambil adakala:
a.     Dari sanad yang berma’na puncak bukit, karena mengikat bahwa orang yang menerangkan sanad itu, mengangkat sanadnya kepada yang mengatakan.
b.    Dari perkataan si anu itu, sanad. Yakni orang yang dipegang perkataannya. Karenanya, dinamai jalan pemberitaan yang menyampaikan kita kepada matan, dengan sanad, adalah mengikat para muhaddis berpegang kepada sanad itu dalam menentukan shahih atau dla’ifnya hadis.[2]
2.      Matan
Matan menurut lughoh, ialah: tengah jalan, punggung bumi, atau bumi yang keras dan tinggi.
Matan kitab, ialah: materi pokoknya, yang bukan merupakan syarah, hasiyah, ataupun ta’liq. Matnul lughah, ialah: kata-kata tunggal. Jamaknya, mutun dan mitan. Menurut istilah, ialah:
اْلفَاظُ اْلحَدِيْثِ الَّتِى تَتَقَوَّمُ بِهَا اْلمَعَانِى
"lafadh-lafadh hadis yang dengan lafadh-lafadh itulah terbentuk ma’na”.

Menurut Ath Thibi berkata:
مَايَنْتَهِىَ اِلَيْهِ السَّنَدُ (غاية السند)
”Sesuatu yang kepadanya berakhir sanad (perkataan yang disebut sesuatu berakhir sanad).[3]

B.     Obyeknya
Pada intinya objek penelitian yang dilakukan dalam penelitian sanad dan matan, ada dua macam yaitu para periwayat hadits atau sanad, dan materi hadits atau matan.
Sanad hadits sangat penting kedudukan dalam hadits tersebut. Begitu pentingnya, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadits tidak dapat disebut sebagai hadits.
Adapun bagian terpenting dalam sanad adalah ;
1.    Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
2.    Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan.
Selanjutnya adalah objek matan, untuk meneliti matan hadits, prinsip-prinsip pokok-pokok ajaran Islam. Dengan demikian, keshahihan matan hadits yang dihasilkan tidak hanya dilihat dari sisi bahasa saja, tetapi juga dilihat dari sisi yang mengacu kepada rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.[4]
Obyek penelitian matan, dilihat dari seginya ada dua yaitu:
1.      Penelian sanad dari segi bahasa.
Penelitian ini mudah dilakukan kerena matan hadits yang sampai pada tangan mukharijnya masing-masing terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga beredar latar belakang budaya yang dapat menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah.
2.      Penelitian sanad dari segi kandungannya.
Penelitian ini diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok Islam, dengan demikian kesahihan matan hadits yang dihasilkan tidak hanya dari segi bahasa saja, tetapi juga dari segi rasio, sejarah dan prinsip pokok ajaran Islam.[5]

C.     Kaidah Mayor dan Kaidah Minor
1.      Kaidah Mayor
Ulama hadis dari kalangan al-mutaqoddimun, yakni ulama hadis sampai abad ke-3 H, belum memberikan pengertian (definisi) yang eksplisit tentang hadis shahih.[6] Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat diperpegangi. Pernyataan mereka, misalnya berbunyi:
a)    Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang – orang yang siqat.  
b)    Hendaknya orang meriwayatkan hadis itu diperhatikan ibadah sholatnya, perilakunya dan keadaan dirinya; apabila sholatnya perilakunya dan keadaan orang itu tidak baik, agar tidak diterima riwayat hadisnya.
c)    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
d)    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
e)    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[7]
Pernyataan – pernyataan tersebut tertuju kepada kualitas dan kapasitas periwayat, baik yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayatnya.
Imam al-Syafi’iy telah mengemukakan penjelasan yang lebih konkrit dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujah. Dia menyatakan, khabar al-khassah (hadis ahad) tidak dapat dijadikan hujah, kecuali apabila hadis itu:
1.    Diriwayatkan oleh para periwayat yang:
a)      Dapat dipercaya pengalaman agamnaya.
b)      Dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikaan berita.
c)      Memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan.
d)      Mampu menyampaikan riwayat hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan secara makna.
e)      Terpelihara hafalannya, apabila hadis itu diriwayatkan orang laian maka bunyi hadis itu tidak berbeda.
f)        Terlepas dari perbuatan penyembuyian cacat (tadlis).


2.    Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
Kriteria yang dikemukakan oleh al-Syafi’iy tersebut sangat menekankan pada sanad dan cara periwayatn hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan hujah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaian dengan persambungan sanad. Cara periwayatan hadis yang ditekankan oleh as-Syafi’iy adalah cara periwayatan secara lafal (harfiah).
2.      Kaidah Minor
a)      Sanad bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.
b)      Periwayat bersifat adil
Kata adil (al-‘adl) memiliki lebih  dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun  istilah. Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang diyatakan bersifat adil. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Untuk memberikan gambaran betapa beragamnya pendapat ulama dimaksud dalam bentuk ikhtisar. Pendapat – pendapat yang diikhtisarkan dibatasi hanya bersal dari 15 orang ulama di berbagai zaman. Dari kelima belas ulama ini, sepuluh orang di antaranya dikenal sebagai ulama hadis, di samping juga di antara mereka ini dikenaldi bidang ilmu keislaman tertentu lainnya. Kelima selebihnya dikenal sebagai ulama usul al-figh atau figh.
Kesepuluh orang ulama yang disebutkatkan pertama ini ialah: al-Hakim al-Naysaburiy, ibn al-Salah, al-Nawawiy, ibn al-Hajar al-‘Asqolaniy, al-Harawiy, al-Syawkaniy, Muhammad Mahfuz al-Tirmisiy, Ahmad Muhammad Syakir, Nurul al-Din’Itr, dan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib. Lima orang ulama selebihnya ialah: al-Gazaliy, ibn Qudamah, al-Midiy, ‘Aliy ibn Muhammad al-Jurjaniy, dan Muhammad al-Khudariy Bik.
c)      bersifat dabit
pengertian dabit menurut istilah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai bentuk keterangan. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqolaniy dan al-Sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang dabit ialah orang yang kuat hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Ada pula ulama yang mengatakan, orang dabit ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudia dia menghafalkannya dengan sungguh – sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
d)      Terhindar dari syuzuz (ke-syaz-an)
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syaz dalam hadis. Perbedaan pendapat yang menonjol ada tiga macam. Yakni, pendapat yang dikemukakan oleh al-Syafi’iy, al-Hakim, dan Abu Ya’la al-Khaliliy. Pada umumnya ulama hadis mengikuti pendapat al-Syafi’iy.
Menurut al-Syafi’iy, suatu hadis tidak dinyatakan sebagai mengandung syuzuz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Barulah suatu hadis dinayatakan mengandung syuzuz, bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang juga bersifat siqat.
Dari penjelasan al-Syafi’iy tersebut dapat dinyatakan, bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh: kesendirian individu periwayat dalam sand hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah hadis fard mutlaq (kesendiriana absolut), periwayat tidak siqat.[8]
e)      Terhindar dari ‘illat
Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-salah dan al-Nawawiy, ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.
Pengertian ‘illat disini bukanlah pengertian umum tentang sebab kecacatan hadis, misalnya karena periwayatnya pedusta atau tidak kuat hafalan. Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadis disebut dengan istilah ta’n atau jarh, dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum. Cacat umum ini dapat mengakibatkan jiga lemahnya sanad. Periwayat yang cacat dapat pula memberi petunjuk kemungkinan terjadinya keterputusan sand. Terhadap cacat umum tersebut, ulam hadis pada umumnya tidak banyak menjumpai kesuliktan untuk menelitinya. Sedangkan terhadap ‘illat yaang dimaksudkan oleh unsur kaidah mayor di atas, tidak banyak ulama hadis syang mampu menelitinya. Karena hadis yang ber-’illat tampak berkualitas shahih.[9]

D.    Penelitian Matan Hadits
Dari penjelasan dan kesepakatan ulama hadist pada intinya ialah tidak terlepas dari suatu metodologi yaitu kegiatan penelitian matan hadits yakni:
1.      Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
Dalam menelitian ini, terdapat tiga acuan untuk melekukan penelitian ini yakni:
a.     Meneliti matan sesudah meneliti hadits.
b.    Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kulalitas sandnya.
c.     Kaedah kesahihan matan adalah sebagai acuan.
2.      Mneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna.
Hal ini mendapat perhatias khusus karenan beberapa sebab, yakni:
a.       Terjadinya perbedaan lafal.
b.      Munculnya metode akibat lafal tersebut aeperti; metode muqoroanah  (perbandingan) yang mengakibatkan pula adanya ziyadah, idraj dan lain-lain.
3.      Meneliti kandungan matan.
Dalam penelitian kandungan matan hadits langkah-langkah yang digunakan ialah:
a.     Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan.
b.    Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau nampak bertentangan.[10]
E.     Metodenya
Metode yang dipakai dalam penelitian sanad dan matan, disini yaitu:
1.      Takhrijul hadits
2.      Penelitian sanad hadits
3.      Peneliti pribadi periwayat
4.      Penelitian matan hadis


F.      Urgensinya
Tujuan pokok dari penelitian sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Kulaitas hadits sangat diperlukan dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan. Oleh karena itu, penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk mengetahui seberap jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadits yang mereka teliti juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadits yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujahannya.
1.      Hadits Nabi adalah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
2.      Tidaklah sejumlah hadits Nabi tertulis pada zaman Nabi.
3.      Telah muncul berbabai pemalsuan hadits.
4.      Proses penghimpunan hadist yang memakan waktu lama.
5.      Jumlah kitab hadits yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
6.      Adanya periwayatan hadits secara makna.














BAB III
PENUTUP

Sebagaimana yang pemakalah uraikan diatas, tentang penelian sanad dan matan. Setidaknya  pemakalah dapat menyimpulakan beberapa poin – poin yaitu:
1.      syarat atau kriteria sanad yang bersifat umum itu meliputi:
a.       siqat.  
b.      Ibadah.
c.       tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
d.      tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
e.       ditolak kesaksiannya.
2.      syarat atau kriteria sanad yang bersifat umum itu meliputi:
a.       Sanad bersambung
b.      Periwayat bersifat adil
c.       bersifat dabit
d.      Terhindar dari syuzuz (ke-syaz-an)
e.       Terhindar dari ‘illat












DAFTAR PUSTAKA

Al-Raziy, Abu Muhammad ibn ‘Abd al- Rahman ibn Abiy Hatim, Kitab al-jarh wa al-Ta’dil (Hayderabad: Majlis Da’irat al-Ma’rifat, 1371 H = 1952 M.
Ash Shiddieqy, Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jakarta: Bulan Bitang,1958.
Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung. Pustaka: Setia Ctk, 2004 hal. 26
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1985.
www. Ziddu. Com. di akses tgl 26 April 2011, 14.00 WIB.




[1] Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal.  26
[2]. M. Hasbi ash  Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist, (Jakarta: Bulan Bitang,1958), hal. 42
[3] M. Hasbi ash  Shiddieqy, Op.cit,h.  44
[4]  www. Ziddu. Com, di akses tgl 26 April 2011, 14.00 WIB
[5] Op.cit. h. 27
[6] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1985), hal. 849
[7] Abu Muhammad ibn ‘Abd al- Rahman ibn Abiy Hatim al-Raziy, Kitab al-jarh wa al-Ta’dil (Hayderabad: Majlis Da’irat al-Ma’rifat, 1371 H = 1952 M0, Juz II, hal. 27
[8] Drs. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung:Pustaka Setia Cet, 2004 hal. 26
[9] Op.cit, hal. 142-146
[10] Op.cit. h. 29

Takhrij Hadist 
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

A.     Takhrij Hadits
Setelah saya melakukan takhrij hadits dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahros li Alfadz al-Hadits an-Nabawi, maka saya dapatkan matan hadits :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طَرِيْقِ الْجَنَّةِ
Diriwayatkan oleh Sunan abu Dawud, Shohih Bukhori, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad bin Muhammad bin Hambal, yaitu sebagai berikut:
1)      Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, bab الحثّ على طلب العلم, (perintah untuk menuntut ilmu) nomor hadits 3641, h. 523.
حدثنا مسدّد بن مسرهد، ثنا عبدالله بن داود، قال: سمعت عاصم بن رجاء بن حيوة يحدثّ، عن داود بن جميل، عن كثير بن قيس قال: (كنت جالسا مع أبي الدّرداء فى مسجد دمشق فجاءه رجل فقال: ياأبا الدّرداء إني جئتك من مدينة الرّسول الله صلىّ الله عليه وسلّم لحديث بلغني أنّك تحدّثه عن رسول الله ما جئت لحاجة. قال: فإنيّ سمئت وسول الله صلى الله عيه وسلّم يقول: (مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وإنّ الملائكة لتضع اجنحتها رضاً لطالب العلم، وإنّ العالم ليستغفر له من فى السّموات والأرض والحيتان فى جوف الماء، وإنّ فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب، وإنّ العلماء ورثة الأنبياء، وإنّ الأنبياء لم يورّثوا دينارا ولا درهاما، ورّثوا العلم فمن أخده أخذه بحظّ وافر).

2)      Diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih Bukhori, العلم قبل القول والعمل (ilmu sebelum diucapkan dan diamalkan), nomor hadits, h. 26.
فألم أنّه لااله إلاّالله، فبدأ بالعلم، ,أنّ العلماء هم ورّثة الأنبياء ورثوا العلم من أخذه أخذ بحظّ وافر، ومَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًاسَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ،

3)      Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi, bab فضل طلب العلم, (keutamaan mencari ilmu), nomor hadits 2783, h. 138.
حدثنا محود بن غيلان، أخبرنا أبو أسامة، عن الأعمش عن أبي صالح، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله قلى الله عليه وسلم: ( مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ).
4)      Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, bab مقدمة (pendahuluan), nomor hadits 223, h. 17.
حدثنا نصر بن علىّ الجهضمىّ. عن عبد الله بن داود، عن عاصم بن رجاء بن حيوة، عن داود بن جميل، عن كثير بن قيس: قال كنت جالسا عند أبى الدّرداء فى مسجد دمشق. فأتاه وجل، فقال: ياأبا الدّرداء ! أتيتك من المدينة، مدينة رسول الله صلّى الله عليه وسلّم لحديث بلغنى أنّك تحدّث به عن النّبي صلىّ الله عليه وسلّم. قال: فما جاء بك تجارة ؟ قال: لا. قال: ولا جاء بك غيره ؟ قال: لا. قال: فإنى سمئت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ( مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ. وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضا لطالب العلم. وإن طالب العلم يستغر له من فى السّماء والأرض. حتّى الحيتان فى الماء. وإن فضل العلم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب. إن العلماء ورّثة الأنبياء. إن الأنبياء لم يورّثوا دينارا ولا درهاما. إنما ورّثوا العلم. فمن أخذه، أخذ بحظّ وافر).
5)                                                                                                                                                                                                                                                      Diriwayatkan oleh Ibnu Hanbal dalam Musnad Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal, nomor hadits 8299, h. 275.
حدثنا الأسواد بن عامر، أنا ابو بكر، عن الأعمش عن أبى صالح، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عيه وسلم: ( مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ).












B.     I’tibar
1)      Jalur periwayatan Abu Dawud
Text Box: رسول الله صلى الله عليه وسلم                                             



 





























2)      Jalur periwayatan Bukhori
Didalam kitabnya Bukhori tidak menyebutkan sanadnya pada hadistnya bab ilmu kitab Shahih Bukhori, cetakan terbaru apaupun cetakan yang lama dan peneliti juga belum menemukan hadis pertama tentang bab ilmu yang berbunyi:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ،
Dan peneliti juga sudah mencari dari berbagai kitab sarah Shahih Bukhori. Dan apabila terdapat mohon dimaafkan.























3)      Jalur periwayatan At-Tirmidzi



 






























4)      Jalur periwayatan Ibnu Majah




 






























5)      Jalur periwayatan Ibnu Hambal




 





























6)      Seluruh jalur periwayatan hadits



 































7)      Jalur periwayatan Ibnu Majah dan Abu Dawud




 












 


























C.     Penelitian Sanad
Adapun untuk mengetahui kwalitas dan persambugan sanad pada hadits-hadits di atas, maka saya adakan penelitian sanad hadits, yakni sebagai berikut:
1.      Penyambungan dan Kualitas Sanad
a.      Periwayatan dari Abu Dawud
1)      Abi ad-Darda’i

2)      Katsir bin Qoisyin
Nama lengkapnnya  adalah Katsir bin Qoisyin, dan dia disebut Qoisyin bin Katsir.
Meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad saw, abi Darda’i (di dalam keutamaan ilmu).
Murid atau yang meriwayatkan hadits darinya adalah Dawud bin Jamil.

Jarh dan ta’dil terhadap Abu Hurairah Ad-Dausi Al- Yamani
Banyak  periwayatan – periwayatan, bahwa sesungguhnya Katsir bin Qoisyin di dalam periwayatannya terdapat pertentangan dan di kuatkan oleh Muhammad bin Yazid al-Wasithi dalam salah satu periwayatannya bahwa yang bernama Qoisyin bin Kastir sesungguhnya dia orang yang waham (menduga – duga atau pertimangannya salah tentang sesuatu).
Dan ad-Daraquthni berkata: dho’if dan terjadi anaknya naqi’ waham, di kamus sahabat sesungguhnya di dalam hadisnya tidak menyebutkan abu ad-Darda’i, maka penyebab inilah yang menyebabkan kesalahan.
3)      Dawud bin Jamil
Nama lengkapnya adalah Dawud bin Jamil, dan dia disebut al-Walid.
Meriwayatkan hadits dari kakeknya, Katsir bin Qoisyin
Murid atau yang meriwayatkan hadits darinya adalah ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah.
Jarh dan ta’dil terhadap Sholih bin Abi Sholih
Telah disebutkan oleh ibnu Hibban didalam ketsiqatan-Nya, di dalam periwayatan hadisnya terdapat pertentangan datang dari terjemahnya Katsir ibnu Qoisyin.
Dan ad-Daraqothni berkata: majhul. Dan maroh berkata: dan siapakah orang yang meriwayatkan sebelumnya atau diatasnya sampai abi Darda’i dho’if. Dan berkata: di dalam ‘illat-Nya Abu Dawud tidak shohih. Dan al-Azdi berkata: dho’if, majhul.

4)      ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah al-Kindi al-Filastini, dan dia disebut al-Urduli.
Meriwayatkan hadits dari bapaknya, Qosim bin ‘Abdurrahman, Dawud bin Jamil, Rabi’ah bin Yazid, ‘Urwah bin Rawim, abi Umran al-Anshori, Makhul as-Syami, Qoisin Bin Katsir apabila terjaga dan yang lainnya.
Murid atau yang meriwayatkan haditsnnya adalah Isma’il bin ‘Iyas, ‘Usman bin Faid, Abdullah bin Dawud Al-Khorobi, Waki’, Muhammad bin Yazid Al-Wasithi, Abu Na’im. Dan yang lainya.
Jarh dan ta’dil terhadap Al-A’mas
Dan Ishaq bin Mansyur dari ibni ma’in berkata: showailih. Dan abu zar’ah berkata: la ba’sa bih dan disebutkan ibnu hibban tsiqat.
5)      Abdullah bin Dawud
Nama lengkapnnya adalah
Meriwatkan hadits dari guru-gurunya orang-orang yang sebaya. Seperti
Murid atau yang meriwatkan hadistnya adalah

Jarh dan ta’dil terhadap Abdullah bin Dawud

6)      Musaddad bin Musarhadin
Nama lengkapnnya adalah Musaddad bin Musarhadin bin Musarbalin al-Bashri al-Asadi, abu Hasan al-Hafidz.
Meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Yahya bin Abi Katsir, Hasyim, Yazid bin Zari’ ‘Isa bin Yunus, Fadhil bin ‘Iyadh, Mahdi bin Maimun, Jawairiyah bin Asma’, Ja’far bin Sulaiman, Hammad bin Yazid, abi Al-Ahwash, Abdul Wahid bin Ziyad, ‘Abdul Warist bin Sa’id Muhammad bin Jabir As-Sahimi, Ma’mar bin Sulaiman, Dzam bin ‘Amru, abi ‘Awanah, Yunus bin Al-Majisyun, Abi Al-Aswad Hamid Al-Aswad, Aljarah bin Malih, Walid, Waki’, Qotthan, Ibnu ‘Alaih, Basyar bin Al-Mufadhil, Khalid bin ‘Abdullah Al-Wasithi, Khalid bin Harits, Kholaq.
Murid atau yang meriwayatkan haditsnya adalah al-bukhori, abu dawud. Dan yang lainya

Jarh dan ta’dil terhadap Musaddad bin Musarhadin
Dan abu Zar’ah berkata: shoduq, dan Maimuni berkata: saya telah bertanya bapaknya Abdullah yang menulis kepada Musaddad maka dia menuliskan saya kepadanya dan dia berkata: ya “syaikh” Allah telah mengampuninya, dan Ja’far bin abi ‘Utsman telah berkata: saya telah berkata kepada kepada anaknya Ma’in: dari siapakah yang saya tulis di Bashrah? maka dia berkata tulislah dari Musaddad maka sesungguhnya dia tsiqat, dan muhammad bin harun al-farasi telah berkata: dari ibnu ma’in shoduq, dan an-nasa’i telah berkata: tsiqat.



7)      Abu Dawud
Nama lengkapnya adalah Al-Jarud bin Mu’adz As-Sulami, abu Dawud, dan dia Dikatakan abu Mu’adz.
Yang meriwayatkan darinya, Ibrahim bin Rustam An-Naisaburi, Al-Aswad bin ‘Amir Syaddan, abi Dhomrah, Anas bin ‘Iyadh Al-Laitsi, Jarir bin Abdul Hamid, abi Usamah Hammad bin Usamah, Sufyan bin ‘Uyainah, Salam abi Muqotil Al-Marwazi, abi Khalid Sulaiman bin Haiyan Al-Ahmar. Dan yang lainnya  disini abu Dawud tidak menyebutkan Musaddad bin Musarhadin.
Yang mengambil hadist darinya: Tirmidzi, An-Nasa’i, Irahim bin Al-Makhtar Al-Balkhi Al-Fiqih, Ahmad bin ‘Ali Al-Abbar, Ahmad bin Yunus Al-Farosi, abu Muhammad Hamid Syadi Al-Kissi, abu Sholih Kholf bin Raja’ bin Ismai’il Al-Anshori Al-Bukhori. Dan yang lainnya.
Kualitas Sanad :

b.      Periwayatan dari Ibnu Majah
1)      Abi ad-Darda’i

2)      Katsir bin Qoisyin
Nama lengkapnnya  adalah Katsir bin Qoisyin, dan dia disebut Qoisyin bin Katsir.
Meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad saw, abi Darda’i (di dalam keutamaan ilmu).
Murid atau yang meriwayatkan hadits darinya adalah Dawud bin Jamil.

Jarh dan ta’dil terhadap Abu Hurairah Ad-Dausi Al- Yamani
Banyak  periwayatan – periwayatan, bahwa sesungguhnya Katsir bin Qoisyin di dalam periwayatannya terdapat pertentangan dan di kuatkan oleh Muhammad bin Yazid al-Wasithi dalam salah satu periwayatannya bahwa yang bernama Qoisyin bin Kastir sesungguhnya dia orang yang waham (menduga – duga atau pertimangannya salah tentang sesuatu).
Dan ad-Daraquthni berkata: dho’if dan terjadi anaknya naqi’ waham, di kamus sahabat sesungguhnya di dalam hadisnya tidak menyebutkan abu ad-Darda’i, maka penyebab inilah yang menyebabkan kesalahan.
3)      Dawud bin Jamil
Nama lengkapnya adalah Dawud bin Jamil, dan dia disebut al-Walid.
Meriwayatkan hadits dari kakeknya, Katsir bin Qoisyin
Murid atau yang meriwayatkan hadits darinya adalah ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah.
Jarh dan ta’dil terhadap Sholih bin Abi Sholih
Telah disebutkan oleh ibnu Hibban didalam ketsiqatan-Nya, di dalam periwayatan hadisnya terdapat pertentangan datang dari terjemahnya Katsir ibnu Qoisyin.
Dan ad-Daraqothni berkata: majhul. Dan maroh berkata: dan siapakah orang yang meriwayatkan sebelumnya atau diatasnya sampai abi Darda’i dho’if. Dan berkata: di dalam ‘illat-Nya Abu Dawud tidak shohih. Dan al-Azdi berkata: dho’if, majhul.

4)      ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Raja’ bin Hayawah al-Kindi al-Filastini, dan dia disebut al-Urduli.
Meriwayatkan hadits dari bapaknya, Qosim bin ‘Abdurrahman, Dawud bin Jamil, Rabi’ah bin Yazid, ‘Urwah bin Rawim, abi Umran al-Anshori, Makhul as-Syami, Qoisin Bin Katsir apabila terjaga dan yang lainnya.
Murid atau yang meriwayatkan haditsnnya adalah Isma’il bin ‘Iyas, ‘Usman bin Faid, Abdullah bin Dawud Al-Khorobi, Waki’, Muhammad bin Yazid Al-Wasithi, Abu Na’im. Dan yang lainya.
Jarh dan ta’dil terhadap Al-A’mas
Dan Ishaq bin Mansyur dari ibni ma’in berkata: showailih. Dan abu zar’ah berkata: la ba’sa bih dan disebutkan ibnu hibban tsiqat.
5)      Abdullah bin Dawud
Nama lengkapnnya adalah
Meriwatkan hadits dari guru-gurunya orang-orang yang sebaya. Seperti
Murid atau yang meriwatkan hadistnya adalah

Jarh dan ta’dil terhadap Abdullah bin Dawud

6)      Musaddad bin Musarhadin
Nama lengkapnnya adalah Musaddad bin Musarhadin bin Musarbalin al-Bashri al-Asadi, abu Hasan al-Hafidz.
Meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Yahya bin Abi Katsir, Hasyim, Yazid bin Zari’ ‘Isa bin Yunus, Fadhil bin ‘Iyadh, Mahdi bin Maimun, Jawairiyah bin Asma’, Ja’far bin Sulaiman, Hammad bin Yazid, abi Al-Ahwash, Abdul Wahid bin Ziyad, ‘Abdul Warist bin Sa’id Muhammad bin Jabir As-Sahimi, Ma’mar bin Sulaiman, Dzam bin ‘Amru, abi ‘Awanah, Yunus bin Al-Majisyun, Abi Al-Aswad Hamid Al-Aswad, Aljarah bin Malih, Walid, Waki’, Qotthan, Ibnu ‘Alaih, Basyar bin Al-Mufadhil, Khalid bin ‘Abdullah Al-Wasithi, Khalid bin Harits, Kholaq.
Murid atau yang meriwayatkan haditsnya adalah al-bukhori, abu dawud. Dan yang lainya

Jarh dan ta’dil terhadap Musaddad bin Musarhadin
Dan abu Zar’ah berkata: shoduq, dan Maimuni berkata: saya telah bertanya bapaknya Abdullah yang menulis kepada Musaddad maka dia menuliskan saya kepadanya dan dia berkata: ya “syaikh” Allah telah mengampuninya, dan Ja’far bin abi ‘Utsman telah berkata: saya telah berkata kepada kepada anaknya Ma’in: dari siapakah yang saya tulis di Bashrah? maka dia berkata tulislah dari Musaddad maka sesungguhnya dia tsiqat, dan muhammad bin harun al-farasi telah berkata: dari ibnu ma’in shoduq, dan an-nasa’i telah berkata: tsiqat.



7)      Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz al-Mufassir Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Raba’i al-Qazwini. Nama panggilan kependekannya Ibnu Majjah.
Ibnu Majah lahir pada tahun 209 hijriah disuatu wilayah Qazwin, sebuah kota di negara Iraq yang dahulu masuk bagian dari negeri Persia. Di kota tersebut banyak lahir ulama kenamaan.Ibnu Majah wafat pada tanggal 21 atau 22 Ramadhan tahun 273 hijriah.
Perjalanan studi Ibnu Majah yang mengantarkannya kejajaran al-Hafidz, ahli rijalul-hadis sekaligus sebagai kolektor hadis dan al-Mufasir (menurut al-Zahabi) abad ketiga melintasi beberapa pusat ilmu keislaman masa itu. Di Iraq beliau lama menetap di Basrah dan Baghdad,  K
ufah, Makkah, Siria, Mesir, dan Al-Ray. Beliau berada di Khurasan khusus untuk mencari dan menjumpai ulama pengajar hadis.
Yang meriwayatkan darinya, ibrahim bin rustam an-naisaburi, al-aswad bin ‘amir syaddan, abi dhomrah, anas bin ‘iyadh al-laitsi, jarir bin abdul hamid, abi usamah hammad bin usamah, sufyan bin ‘uyainah, salam abi muqotil al-marwazi, abi khalid sulaiman bin haiyan al-ahmar. Dan yang lainnya  disini Abu dawud tidak menyebutkan Musaddad bin Musarhadin.
Yang meriwayatkan darinya, kolega Imam Malik, Sufyan al-Tsauri dan kolega Laits bin Sa’ad. Mereka antara lain Abu Bakar bin Abi Ayaidah, Yazid bin Abdillah al-Yamani, Muhammad bin Abdillah bin Numair, Jabbaral al-Mubgallas, Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami, Abdullah bin Mu’awiyah, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ruh dan Dawud bin Abi Syaibah.
Kualitas Sanad :
Sunan Ibnu Majah berlatar belakang mutu sanad yang amat varian, dalam pengertian  tak  seluruhnya sebanding dengan tingkat kemaqbulan, yaitu :
428 hadis yang didukung oleh perawi tsiqah (keper- cayaan) dan bersanad shahih, 199 hadis bersanad dengan mutu hasan, 613 hadis bersanad dha’if , dan, 99 hadis yang kondisi sanadnya amat lemah, munkar atau di duga palsu.

2.      Meneliti Kemungkinan Adanya Syuzuz dan ‘illat. 
Dari penelitian sanad di atas, maka tampak jelas bahwa seluruh sanad dari jalur periwayatan Abu Dawud dan Ibnu Majah masing-masing berjumlah enam  tingkat perawi dan sanad pada hadis ini adalah muttshil atau bersambung. Akan tetapi sanadnya tidak shahih kerena terdapat ‘illat didalamnya. Letak ‘illat nya, karena sebagian periwayatannya terdapat pertentangan contohnya, Muhammad bin Yazid al-Wasithi berkata: dalam salah satu periwayatannya bahwa yang bernama Qoisyin bin Kastir sesungguhnya dia orang yang waham (menduga – duga atau pertimangannya salah tentang sesuatu). Dan abi Darda’i berkata: dho’if. Dan berkata: di dalam ‘illatnya Abu Dawud tidak shohih.
Jumlah tingkat perawi tersebut sama dengan sendirinya menjadikan sanad Abu Dawud dan Ibnu Majah memiliki kelebihan ataupun kekurangan. Sanad yang lebih pendek yang berasal dari Abu Dawud dan Ibnu Majah tersebut menjadikannya mengandung syuzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Dinyatakan demikian karena salah satu  periwayatan yang terdapat dalam sanad yang diteliti masing-masing dari mereka itu bersifat dho’if (tidak shahih), tapi juga ada dari periwayatan meraka yang shahih, dan sanadnya dalam keadaan bersambung mulai dari mukharijnya sampai kepada sumber utama berita, yakni Nabi Muhammad saw, tapi diantara mereka ada yang tidak menyebutkan gurunya dan muridnya.
Dengan alasan-alasan tersebut, kemungkinan besar bahwa sanad Abu Dawud dan Ibnu Majah yang diteliti itu mengandung syuzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Karenanya belum memuhi syarat yaitu sebagian sebagian periwayatannya ada yang bersifat dhoi’if maka dengan penelitian ini telah di ketahui bahwa memenuhi sanad Abu Dawud dan Ibnu Majah yang diteliti itu dinyatakan mengandung syuzuz dan ‘illat dan sanadnya munqoti’ (tidak bersambung). Dikarenakan sebagian periwayatannya ada yang bersifat dho’if dan mengandung ‘illat (cacat) didalamnya.











3.      Mengambil Natijah
1)      Periwayatan dari Abu Dawud
Dari analisa terhadap sanad-sanad yang terdapat dalam periwayatan Abu Dawud, sebagian ulama berpendapat tentang kepribadian mereka bertentangan, serta  ketersambungan sanad antara guru dan muridnya, tapi sebagian dari mereka tidak menyebutkan guru dan muridnya dan periwayatannya ada yang bersifat  dho’if. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Keutamaan Menuntut Ilmu adalah dho’if.
2)      Periwayatan dari jalur Ibnu Majah
Dari analisa terhadap sanad-sanad yang terdapat dalam periwayatan Ibnu Majah, sebagian ulama berpendapat tentang kepribadian mereka bertentangan, serta  ketersambungan sanad antara guru dan muridnya, tapi sebagian dari mereka tidak menyebutkan guru dan muridnya dan periwayatannya ada yang bersifat  dhoif. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Keutamaan Menuntut Ilmu adalah dho’if.

D.    Penelitian Matan
Berangkat dari berbagai penjelasan ulama ahli hadits melalui dari bebagai kitab hadits mereka, saya mencoba meneliti matan hadits di atas dengan beberapa langkah, diantaranya dengan melihat sanad hadits, dengan meneliti susunan lafal yang semakna, dan dengan meneliti kandungan matannya.
1)      Meneliti matan hadits dari kualitas sanad
Setelah saya melakukan penelitian kualitas sanad dari hadits riwayat Abu Dawud dan ibnu Majah tentang Keutamaan Menuntut Ilmu, maka sanadnya berkualitas shahih dan dho’if. Dengan ini maka dari segi sanadnya hadits ini terdapat kejanggalan. Akan tetapi tidak semua hadits yang memiliki sanad yang shahih dan dho’if, akan dho’if pula matannya. Oleh karena ituperlu diadakan penelitian matan yang lebih mendalam.
2)      Meneliti susunan matan yang semakna
Ada lima hadits yang menerangkan Keutamaan Menuntut Ilmu, tapi disini saya hanya meneliti dua dari kelima hadist tersebut,yaitu sebagai berikut:
a.       Diriwayatkan oleh Abu Dawud:
حدثنا مسدّد بن مسرهد، ثنا عبدالله بن داود، قال: سمعت عاصم بن رجاء بن حيوة يحدثّ، عن داود بن حميل، عن كثير بن قيس قال: (كنت جالسا مع أبي الدرداء فى مسجد دمشق فجاءه رجل فقال: ياأبا الدّرداء إني جئتك من مدينة الرسول الله صلى الله عليه وسلم لحديث بلغني أنّك تحدثه عن رسول الله ما جئت لحاجة. قال: فإني سمئت وسول الله صلى الله عيه وسلّم يقول: (مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وإنّ الملائكة لتضع اجنحتها رضاً لطالب العلم، وإنّ العالم ليستغفر له من فى السموات والأرض والحيتان فى جوف الماء، وإنّ فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب، وإنّ العلماء زرثة الأنبياء، وإنّ الأنبياء يورثوا دينارا ولا درهاما، ورّثوا العلم فمن أخده أخذه أهذ بحظّ وافر).
b.      Diriwaytakan oleh Ibnu Hanbal:
حدثنا نصر بن علىّ الجهضمىّ. عن عبد الله بن داود، عن عاصم بن رجاءبن حيوة، عن داود بن جميل، عن كثير بن قيس: قال كنت جالسا عمد أبى الدّرداء فى مسجد دمشق. فأتاه وجل، فقال: ياأبا الدرداء ! أتيتك من المدينة، مدينة رسةل الله صلى الله عليه وسلّم لحديث بلغنى أنّك تحدث به عن النبي صلى الله عليه وسلم. قال: فما جاء بك تجارة ؟ قال: لا. قال: ولا جاء بك غيره ؟ قال: لا. قال: فإنى سمئت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ( مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ. وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضا لطالب العلم. وإن طالب العلم يستغر له من فى السماء والأرض. حتّى الحيتان فى الماء. وإن فضل العلم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب. إن العلماء ورثة الأنبياء. إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهاما. إنما ورّثوا العلم. فمن أخذه، أخذ بحظ وافر).
Dari dua hadits tetang Keutamaan Menuntut Ilmu diatas, dapat kita lihat bahwasanya kedua hadits tersebut memiliki makna yang sama, yang masing-masing di riwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan memiliki makna yang sama, akan tetapi kedua hadits tetang Keutamaan Menuntut Ilmu juga memiliki susunan lafal yang sama, tapi telah disebutkan diatas dalam penelitian sanadnya bahwa sebagian periwayatannya dho’if. Maka saya berkesimpulan bahwa matan hadits tentang Keutamaan Menuntut Ilmu yang di riwayatkan Tirmidzi dan Ibnu Hanbal adalah dho’if, karena terdapat  Syuzuz dan ‘illat terhadap kedua hadist tersebut.
3)      Meneliti kandungan matan
Setelah diteliti dari sanad dan lafal yang semakna, bahwah hadits Abu Dawud dan Ibnu Majah tentang Keutamaan Menuntut Ilmu terdapat kejanggalan maka dapat dikatakan hasan. Kemudian saya meneliti kandungan matan hadits. Dengan mengumpulkan seluruh hadits yang membahas tentang tentang Keutamaan Menuntut Ilmu, dan sebagian hadis yang isinya tentang hadis ini ada yang bertentangan. Yaitu misalnya dari kitab ibnu Hanbal yang diriwayatkan oleh Tirmidzi barang siapa yang berjalan pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan jalan baginya menuju surga”  (HR Tirmidzi, hadis 7299, dan as-Suyuthi menunjuk bahwa hadisnya hasan)
4)      Mengambil Natijah
Dari hasil penelitian matan yang telah saya lakukan, melalui tiga langkah yaitu, dengan meneliti sanad, lafal yang semakna, dan kandungan matan, maka saya simpulkan bahwa matan hadits tentang Keutamaan Menuntut Ilmu adalah dho’if.
























DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, juz 1, 2, 4, 6, 7, 9, 10, 11,  Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Al-Mazzi, Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf, Tahdzibul Kamal fi Asma’ ar-Rijal, juz   Bairut: Darul Fikri, t.th.

Ali Nashif, Syekh Manshur, Mahkota pokok-pokok hadits, siar baru algensindo, Bandung, 1994, jilid 3.

As-Syarif, Muhammad, Shilahu al-Ummah ‘ala Haday  al-Sanah, Al-Azhar: Daru as-Shohwah li Natsri, t.th.

Al- Shiddiq, Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1974.

Imam as-Suyuthi, Jarh wa Ta’dil, juz  , Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Muhammad As-Syarif, Shilahu al-Ummah ‘ala Haday  al-Sanah, Al-Azhar: Daru as-Shohwah li Natsri, t.th.

Winsky, al-Mu’jam al-Mufahros li Alfadz al-Hadits an-Nabawi, juz 5, Leiden: Beiril, 1936.</span>